Jumat, 16 Desember 2011

Menengok Sejenak ke Perjanjian Bagi Hasil dan Kelompok Ternak Sapi "Andhini Rahayu" Pedukuhan Betakan



sapi lemosin di kandang sapi Betakan
Kebiasaan dan kesusilaan yang berlangsung turun temurun yang menjadi tingkah laku masyarakat terdapat dalam semua bidang kehidupan sehari-hari, termasuk dalam usaha peternakan. Beternak merupakan salah satu mata pencaharian yang banyak dilakukan oleh masyarakat pedesaan, baik dikelola sendiri maupun dipercayakan kepada orang lain dengan perjanjian membagi dari hasil keuntungan yang diperoleh. Hasil peternakan menjadi salah satu tumpuan hidup sebagian masyarakat pedesaan. Ternak merupakan barang berharga bagi rakyat pedesaan. Terlebih seperti saat ini ketika warga tidak dapat mengandalkan hidup dari hasil pertanian, terutama tanaman padi, sebab perubahan iklim dan perubahan masyarakat menyebabkan petani gagal panen.
Kabupaten Sleman bagian barat memiliki sumber daya alam yang potensial dan merupakan sentra padi. Namun, ketersediaan beras hanya menjadi harapan karena hama wereng dan tikus serta erupsi Merapi menyebabkan tiga musim terakhir ini hanya panen sangat sedikit, bahkan dapat dikatakan tidak panen sama sekali. Meskipun demikian, warga yang mempunyai ternak sapi dapat bergembira karena kegiatan usaha ternak sapi tetap memberikan hasil, tidak seperti pertanian padi.
Ada warga yang memang hanya mengandalkan pemasukan dari beternak sapi, ada yang beternak sapi hanya merupakan hobi semata, dan ada juga yang beternak sapi karena terpaksa sebab hasil pekerjaannya sebagai buruh tani tidak mencukupi, terlebih karena persawaan tidak digarap dan sering gagal panen. Jenis warga yang ketiga ini biasanya memilih beternak sapi dengan mengadakan perjanjian bagi hasil atau gadhuh sapi milik warga/peternak lain. Dengan adanya warga yang menggadhuh sapi, membuat budidaya sapi di wilayah itu bertambah banyak sehingga sering ada warga pemelihara sapi yang mengadakan upacara brokohan. Sistem bagi hasil dengan menggadhuh sapi ini telah dilakukan sejak lama.
Berdasarkan Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan, bahwa peternakan atas dasar bagi-hasil ialah penyerahan ternak sebagai amanat, yang dititipkan oleh pemilik ternak kepada orang lain, untuk dipelihara baik-baik, diternakkan, dengan perjanjian bahwa dalam waktu tertentu titipan tersebut dibayar kembali berupa ternak keturunannya atau dalam bentuk lain yang disetujui oleh kedua pihak.
Selanjutnya disebutkan bahwa ternak sebagai titipan itu tidak boleh kurang dari lima tahun untuk ternak besar, bagi ternak kecil jangka waktunya dapat diperpendek. Jika ternak titipan dengan bagi hasil tersebut dikembalikan, maka yang harus diberikan adalah jumlah pokok semula ditambah sepertiga dari keturunan ternak semula.
 

Kabupaten Sleman bagian barat, khususnya di lokasi penelitian, memiliki kontur tanah yang seragam berupa dataran rendah. Ketersediaan air juga mencukupi dengan adanya percabangan dari Selokan Mataram sehingga potensi pertanian dan peternakan menjadi basis masyarakat di wilayah itu. Sebagai daerah pedesaan yang belum terpengaruh kehidupan modern secara keseluruhan, masyarakat masih menggunakan cara-cara adat, termasuk dalam usaha peternakan sapi. Bagi hasil ternak sapi di daerah ini disebutkan dengan istilah “gadhuh/menggadhuh”. Gadhuh dapat diartikan meminjamkan modal. Orang lain ingin berusaha memajukan kehidupannya, maka pemilik modal (pemilik sapi) meminjamkan modalnya (sapi).
Kelompok Ternak Sapi “Andhini Rahayu” merupakan suatu perkumpulan warga yang mengelola/membudidayakan ternak sapi di Pedukuhan Betakan, Desa Sumberrahayu, Kecamatan Moyudan, Sleman. Kelompok ternak ini menjadi wadah warga masyarakat Pedukuhan Betakan dalam memelihara sapi. Kandang sapi diadakan di satu tempat, yakni di timur pedukuhan untuk menjaga kesehatan lingkungan masyarakat. Pendirian kelompok ternak ini merupakan solusi dari kondisi masa sebelumnya bahwa mayoritas setiap Kepala Keluarga (KK) memiliki sapi yang kandangnya terletak di samping rumah sehingga ketika musim hujan kotoran sapi menimbulkan bau tajam. Sapi-sapi juga tidak mendapat perawatan ketika sakit dan tidak memperoleh obat-obat dan vitamin untuk perkembangbiakannya. Oleh karena itu, dibuat kelompok ternak agar mudah mendapat akses/kerjasama dengan pemerintah dan Poskewan  Moyudan serta pihak-pihak lain. Meskipun begitu, masih ada warga yang tidak mau masuk dalam kelompok dan memilih masih mengadakan kandang sendiri di dekat rumah.
Perputaran uang bagi anggota kelompok terjadi ketika menjelang Hari Raya Qurban. Pada bulan-bulan biasa tidak terlalu banyak transaksi jual beli sapi. Jenis sapi yang dibudidayakan di peternakan sapi tersebut ada empat jenis, yaitu sapi PO (Peranakan Ongole), Lemosin, Simetal, dan jenis Brahman. Saat penelitian dilakukan, mayoritas anggota kelompok ternak memelihara sapi betina sebab diutamakan untuk memperbanyak jumlah (perkembangbiakan) sapi. Ketika mendekati Hari Raya Qurban, barulah Kelompok Ternak “Andhini Rahayu” mendatangkan sapi-sapi jantan untuk digemukkan karena saat itu harga sapi jantan tinggi. Jumlah sapi ketika sebelum Hari Raya Idhul Adha kemarin ada 129 ekor. Pada saat penelitian (10-12-11) jumlahnya ada 90-an ekor sapi. Masa birahi sapi selama 20 hari. Selisih birahi setelah melahirkan biasanya 4 bulan. Jadi, sapi umumnya dapat bunting dua kali dalam 3 tahun.
Kelompok Ternak Sapi “Andhini Rahayu” menjalin kerja sama dengan Poskewan Moyudan untuk pemeriksaan rutin tiap 3 bulan dan juga untuk suntik Inseminasi Buatan. Selain itu, juga kerja sama dengan Fakultas Kedokteran Hewan UGM. Peternakan ini dapat dibilang merupakan peternakan berkembang. Penerangan di kandang dilakukan dengan listrik dari solar cell yang merupakan hasil kerja sama dengan dosen teknik UMY. Tambahan lagi, kelompok ternak ini beberapa tahun terakhir mendapat dana dari APBN untuk perbaikan kandang dan pengembangan peternakan, termasuk untuk kelompok ternak binaan di Desa Sumberayu, daerah Sleman bagian utara. Kelompok ternak “Andhini Rahayu” juga telah bekerja sama dengan Gapoktan Sumberrahayu untuk memasarkan pupuk organik.
Di Pedukuhan Betakan, karakteristik hukum adat masih ada dalam usaha peternakan sapi. Yakni karakteristik religio-magis, yakni selalu mengadakan brokohan untuk anak sapi yang telah lahir; transaksi jual-beli sapi dilakukan secara contant (tunai), ada uang ada barang, sebab untuk menghindari terulangnya tindak penipuan yang pernah terjadi sehingga merugikan pemilik sapi. Karakteristik konkret (visual) dengan menggunakan panjer sudah jarang dilakukan. Kalaupun dilakukan, maksud panjer tersebut bukan merupakan uang atau barang di luar harga, akan tetapi diambilkan dari harga sapi. Dalam jual beli sapi tidak diperlukan saksi. Sebab semuanya dilakukan atas dasa rasa saling percaya. Kalau ketika pemelihara (penggadhuh sapi) akan menjual anak sapi hasil gadhuhannya, biasanya si pemilik modal (pemilik sapi) juga ada di tempat bersama penjual (penggadhuh) dan pembeli (bakul), meskipun yang saling tawar-menawar hanya penggadhuh dan bakul, akan tetapi mereka sama-sama tahu.
Ada 3 (tiga) pola yang diterapkan dalam sistem pembagian hasil di peternakan tersebut, yaitu:
1.      Gadhuh dengan pembagian hasil 50 % - 50% dari hasil keuntungan.
Pola ini dilakukan antara pemilik modal yang merupakan warga biasa/umum pemilik sapi dengan warga lain yang akan memelihara sapinya. Yakni, pemelihara memelihara sapi milik pemilik. Kalau untuk penggemukan, digunakan sapi jantan. Lama waktunya 4 bulan. Pemelihara menanggung seluruh pakan (Hijauan Makan Ternak dan konsentrat), pengobatan, dan kandang. Setelah 4 bulan, sapi itu dijual. Untung dari hasil penjualan dibagi dua sama banyak. Misal: sapi awal harganya Rp5.000.000,00 kemudian dipelihara oleh penggadhuh selama 4 bulan. Setelah 4 bulan, sapi itu dijual dan laku seharga Rp8.000.000,00. Maka pemelihara harus mengembalikan modal awal, yakni harga sapi Rp5.000.000,00, sedangkan untungnya yakni Rp3.000.000,00 dibagi dua sama banyak, yaitu masing-masing mendapat Rp1.500.000,00. Sedangkan untuk sapi betina, anak yang dihasilkan dijual. Anak sapi dijual kalu sudah berumur 4 s/d 5 bulan. Hasil penjualan anak itu dibagi dua sama banyak untuk masing-masing pemelihara dan pemilik sapi. Tidak ada batas waktu untuk bagi hasil sapi betina. Lama waktu diserahkan sesuka pemelihara.
2.      Gadhuh sapi milik pemerintah, yaitu pemerintah melalui programnya memberikan bantuan sapi  yang sudah bunting kepada pengusul pemelihara. Kemudian pemelihara memeliharasapi itu. Setelah lahir,  anak yang dilahirkan itu menjadi pemelihara. Pemelihara berkewajiban memelihara induk sapi sampai bunting kembali. Setelah itu, sapi tersebut digilirkan ke orang lain (pengusul pemelihara lain) pemeliharaannya, dan seterusnya begitu.
3.      Gadhuh dengan kebijakan  Kepala Pedukuhan.
Kepala pedukuhan mempunyai kebijakan tersendiri terhadap sapi-sapi miliknya untuk dibagi hasil dengan warga lain. Pembagian hasil yang diterapkan adalah pemilik (kepala pedukuhan) mendapat 40 % dan pemelihara mendapatkan  60 % dari keuntungan penjualan anak sapi yang dihasilkan nanti. Pemelihara menanggung pakan dan kandang. Biaya perawatan sapi sakit dan suntik IB ditanggung kepala dukuh (katanya). Untuk sapi penggemukan, juga pembagian hasilnya sama, yaitu 40:60 dari keuntungan.




# Perbandingan Jumlah Anggota Kelompok Ternak dan Penggadhuh Sapi

Grafik menggambarkan jumlah anggota Kelompok Ternak Sapi “Andhini Rahayu” ada 46 orang, sedangkan jumlah penggadhuh dalam peternakan sapi tersebut berjumlah 21 orang.  Sehingga jumlah penggadhuh ada  45,65% jumlah seluruh anggota.
 



Saran Penulis
1.      Sebaiknya pemerintah terus memberikan bimbingan dan segala bantuan agar masyarakat desalebih maju.
2.      Seharusnya aparat pemerintahan tidak bermain politik dalam urusan kesejahteraan masyarakat.
3.      Rakyat kecil harus dibantu untuk diringankan beban hidupnya, bukan untuk diperas dengan pembayaran bagi hasil yang tidak rasional sebab ada ketidakseimbangan beban yang ditanggung.

KELOMPOK TERNAK SAPI "ANDHINI RAHAYU" 
MENYEDIAKAN BIBIT SAPI UNGGUL
MEMPRODUKSI PUPUK ORGANIK MELALUI KERJASAMA DENGAN GAPOKTAN

DAFTAR PUSTAKA

Hadikusuma, Hilman. 1982. Hukum Perjanjian Adat. Bandung: Penerbit Alumni.
Hadikusuma, Hilman. 2001. Hukum Perekonomian Adat Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
http://ebudikurniawan.blogspot.com/2010/11/nilai-ekonomis-budidaya-sapi.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Peternakan diunduh Ahad, 11 Desember 2011 jam 15:37 WIB
Lestari, Ahdiana Yuni. 2011. Hand Out Hukum Kekerabatan & Perjanjian Adat. Yogyakarta.
Setiawan, Rudi, dkk. 2009. Makalah Hukum Kekerabatan dan Perjanjian Adat Bagi Hasil Peternakan.Yogyakarta.
Sudiyat, Iman. 2010. Asas-Asas Hukum Adat Bekal Pengantar. Yogyakarta: Liberty Yogyakarta.
UU RI Nomor 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan.

BACAAN INI DIKUTIP DARI TUGAS LAPORAN PENELITIAN PERJANJIAN BAGI HASIL MATA KULIAH HUKUM KEKERABATAN DAN PERJANJIAN ADAT.
Dilarang mengopi dan memperbanyak tanpa seizin penulis! 
Hak cipta dilindungi UU.
Haram hukumnya mengopy paste untuk menyelesaikan tugas kuliah/sekolah tanpa penelitian sebenarnya (faktual)!

Tidak ada komentar: