Siluet gelap
mengantar senja bersama rintik hujan yang mulai reda. Kubuka catatan kecilku.
Ada pesan untukku. Menanyakan cuaca hari ini.
Sajak-sajak itu
masih ada. Tersimpan rapat dalam setiap pembicaraan. Kubuka lagi sajak-sajakmu
itu, Kawan.
Ada banyak
cerita pada jarum jam yang mulai usang. Ada ribuan harapan untuk tetap bersua
pada masa depan.
Akankah kau
merasakan yang sama. Ketika satu dua lagu lama pelan-pelan terdengar,
pelan-pelan pula pipimu makin basah. Segala gambarmu pun menjadi riuh di
mataku. Terlihat jelas, masa-masa kita bersama, dalam semua asa dan kehidupan
yang lalu.
Aku tuliskan
lagi kehidupanku saat mata ini tak mampu lagi bersandiwara. Dalam sembab yang
tak lagi dapat kubendung, dalam kegalauan yang teramat jelas, dalam ketakutan
yang sangat akan masa depan. Apa kabar kamu sahabatku? Dimanakah dirimu? Ini
memang saatnya sendiri, sendiri mencari nasib kita sendiri-sendiri. Semoga akan
menjadi bintang inspirasi. Semoga akan ada jalan untuk masa depan kita bersama
lagi.
Tiga bulan sudah
berlalu, makin lama berlalulah tertawa kita, berlalulah cerita-cerita kita.
Bukankah cerita kita belum selesai? Kapankah kembali merampungkan cerita kita,
teman-teman? Malam ini wajah kalian beterbangan dalam kepalaku. Malam ini
sepucuk surat doa kubuat untuk kalian.
Kapan kita kemana, teman-teman? Rencana lalu kita tinggallah lalu.
Namun, masih ada asa realisasi rencana. Di sini, sesuatu terasa menyatu. Laut
biru, perahu kertasku, geografi, sejarah, dan cita-citaku. Ada satu yang tak
pernah hilang, wajah-wajah kalian, tertawa kalian, cerita kalian. Selalu ada
dalam semua perjalananku. Selalu menggumam, “andai kau ada di sini”, tepat persis
dengan sajakku yang lalu itu.
(dirampungkan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar