I.
KASUS
KORUPSI
33
Mantan Anggota DPRD Gunungkidul Diadili
Tribunnews.com - Kamis, 27 September 2012 23:21 WIB
TRIBUNJOGJA.COM/BRAMASTO
ADHY
Sidang perdana kasus
korupsi dana tunjangan yang melibatkan 33 mantan anggota dan sekwan DPRD Gunung
Kidul digelar di Pengadilan Negeri (PN) Yogyakarta, Kamis (27/09/2012).
Laporan
Wartawan Tribun Jogja, Yoseph Hary W
TRIBUNJOGJA.COM,
YOGYAKARTA - Kasus dugaan korupsi
pembayaran tunjangan anggota DPRD Kabupaten Gunungkidul tahun 2003-2004 yang
melibatkan 33 mantan anggota dewan dan sekretarisnya telah memasuki tahap
persidangan. Sidang perdana tersebut digelar dengan agenda pembacaan dakwaan di
Pengadilan Tipikor Yogyakarta, Kamis (27/9/2012).
Para terdakwa hadir ditemani
kuasa hukum dan keluarganya. Suasana di pengadilan pun terlihat lebih ramai
dibanding persidangan pada hari-hari sebelumnya. Pasalnya, selain para terdakwa
dan keluarga yang menunggui, terlihat pula aparat kepolisian berjaga di lokasi.
Sesuai penjadwalannya, sidang itu
digelar di dua ruang terpisah, terbagi dalam 6 berkas perkara. Meski demikian,
dakwaan terhadap mereka yang terlibat sebenarnya sama, yaitu pasal 2 primer dan
pasal 3 subsider UU No 31/1999, diperbarui menjadi UU No 20/2000 tentang tindak
pidana korupsi.
Jaksa penuntut umum membacakan
dakwaan secara panjang lebar di setiap persidangan tersebut. Sementara, para
terdakwa, ada yang maju secara berkelompok 9 orang sesuai pemberkasannya, ada
pula yang berdelapan, atau sendirian, tampak hanya diam duduk berjajar di depan
hakim.
Meski beberapa memperlihatkan
raut wajah tegang, namun ada pula yang mengaku tetap tenang. Seorang di
antaranya mantan anggota DPRD yang pada periode sekarang ini menjabat Ketua
DPRD Gunungkidul, Ratno Pintoyo.
Dia bahkan bersedia buka mulut
sejak sidang belum dimulai. Dia mengaku santai menghadapi sidang. Pasalnya,
proses penganggaran yang kemudian menjeratnya dalam kasus tersebut sebenarnya
adalah sah. "Saya merasa tidak korupsi," ungkap Ratno, sebelum memasuki
ruang sidang, Kamis (27/9/2012).
Ratno mengatakan bahwa pemberian
tunjangan pada periode 2003/2004 memang tanpa kuitansi, tidak seperti sekarang
yang harus dengan kuitansi. Pihaknya juga tidak memberikan kuitansi karena
memang tidak diminta.
Sebab itu, dia merasa tidak
pernah melanggar hukum. Selain, pada periode 2003/2004 waktu itu tidak pernah
ada evaluasi terkait keberadaan kuitansi. Dia pun merasa kasus yang menjeratnya
itu semata trend penegakan hukum.
"Kalau sampai dinyatakan
bersalah saya pasti menempuh hingga kasasi. Saya juga sudah mengembalikan uang
yang dimaksud, Rp 73 juta sesuai klaimnya," ujarnya.
Ratno menjalani sidang sesuai
berkas perkara kedua No 08/Pidsus/2012/P.Tipikor YK. Selain Ratno, terdakwa
lainnya adalah Baryadi Rouseno, Zaenuri, Sukar, Warta, Rojak Harudin, Isdanu
Sismardyanto, dan Irhas Imam Muhtar.
Sedangkan berkas perkara pertama
No 07/Pidsus/2012/P.Tipikor YK, terdakwa Aris Purnomo menjalani sidang
terpisah. Sidang dua berkas itu dipimpin majelis hakim M Nurzaman.
JPU Sigit Kristiyanto ditemui
usai sidang menjelaskan, di antara para terdakwa, beberapa masih aktif sebagai
anggota DPRD, antara lain Bambang Eko di Provinsi, Naomi dan Sukardi anggota
DPRD Gunungkidul.
Secara keseluruhan, mereka
didakwa merugikan negara sebesar Rp 3,056 miliar. Uang tersebut adalah anggaran
yang sebenarnya untuk biaya perawatan kesehatan, pemeliharaan kesehatan dan
pembelian BBM serta pelumas, yang diberikan selama 2003 - 2004. Mereka
menerimanya tanpa kuitansi. Dugaannya, penggunaan dana itu tidak sesuai
peruntukannya. (*)
II.
ANALISIS
KASUS
Kasus di atas merupakan kasus yang mengagetkan
masyarakat DIY. Berdasarkan data dari Forum Indonesia untuk Transparansi
Anggaran (FITRA) (10/9), DIY menempati rangking 32 provinsi terkorup di
Indonesia[1].
Adanya kasus ini tentu akan dapat menaikkan rangkang buruk tersebut.
Kasus yang menjerat 33 mantan anggota dan sekretaris
DPRD Gunungkidul periode 1999/2004 tersebut memasuki tahap sidang pertama,
yakni pembacaan surat dakwaan, di Pengadilan Tipikor Yogyakarta. Karena sudah
memasuki tahapan persidangan, berarti proses hukum sudah tidak dapat
dihentikan. Selain itu, walaupun ada beberapa terdakwa yang sudah mengembalikan
(mencicil atau melunasi) dana tunjangan yang diduga uang korupsi tersebut, itu
tidaklah menghentikan proses hukum, sebab korupsi berdasarkan UU 39/1999
merupakan delik formil, yakni melihat pada adanya perbuatan. Jadi, meskipun
uang itu sudah dikembalikan, itu sudah termasuk delik, sebab perbuatannya sudah
terjadi.
Ratno Pintoyo, salah satu terdakwa, yang juga saat
ini menjabat sebagai ketua DPRD Gunungkidul, dalam penuturannya ia menyanggah
perbuatan korupsi itu. Ia dan semua tedakwa lain meskipun masih berstatus
sebagai terdakwa, akan tetapi sudah dapat dianggap telah melakukan korupsi.
KUHAP yang berpijak pada landasan asas presumption
of innocence memang tidak menunjang mempermudah pembuktian perkara korupsi
di sidang pengadilan. Namun UU 31/1999 jo UU 20/2001 memberlakukan sistem
pembuktian terbalik (omkering van
bewijslast). Sistem pembuktian terbalik bertitik tolak pada asumsi bahwa
setiap orang yang didakwa korupsi, dianggap dia sudah bersalah melakukan
korupsi. Oleh karena itu, di sidang pengadilan terdakwa dibebani kewajiban
untuk membuktikan bahwa dirinya tidaklah bersalah melakukan korupsi sebagaimana
yang didakwakan agar dirinya dapat terbebaskan dari pidana karena melakukan
korupsi[2].
Dalam kasus ini terdakwa didakwa dalam 6 surat
dakwaan subsidaritas. Hal itu sudah sesuai dengan undang-undang yang berlaku.
Perbuatan penyelenggara negara (DPRD) menerima tunjangan yang berasal dari dana
yang diselewengkan
(berdasarkan hasil audit BPKP perwakilan Yogyakarta atas dugaan
penyimpangan APBD tahun anggaran TA 2003–2004[3])
tersebut dapat dikategorikan perbuatan memperkaya diri sendiri dengan cara
melawan hukum. Hal itu bertentangan dengan Pasal 2 dan pasal 3 UU 39/1999 jo UU
20/2001.
III.
KESIMPULAN
Jadi,
perbuatan 33 mantan anggota dan sekretaris DPRD Gunungkidul dalam kasus
tersebut dikategorikan sebagai perbuatan korupsi. Hal itu sesuai Pasal 2 dan 3
UU Nomor 39 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001. Meskipun belum menjadi
terpidana, karena adanya sistem pembuktian terbalik para terdakwa dapat
dianggap telah melakukan korupsi.
INI ADALAH TUGAS MATA KULIAH HUKUM PIDANA DK
INI ADALAH TUGAS MATA KULIAH HUKUM PIDANA DK
HANYA SEBUAH ANALISIS SAYA SENDIRI,
MOHON SARAN DAN PERBAIKAN
Hak Cipta dilindungi UU!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar