Minggu, 07 Oktober 2012

Analisis Kasus Dugaan Korupsi Mantan Anggota DPRD Gunungkidul


I.                   KASUS KORUPSI

33 Mantan Anggota DPRD Gunungkidul Diadili
Tribunnews.com - Kamis, 27 September 2012 23:21 WIB
TRIBUNJOGJA.COM/BRAMASTO ADHY
Sidang perdana kasus korupsi dana tunjangan yang melibatkan 33 mantan anggota dan sekwan DPRD Gunung Kidul digelar di Pengadilan Negeri (PN) Yogyakarta, Kamis (27/09/2012). 

Laporan Wartawan Tribun Jogja, Yoseph Hary W
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYAKARTA  - Kasus dugaan korupsi pembayaran tunjangan anggota DPRD Kabupaten Gunungkidul tahun 2003-2004 yang melibatkan 33 mantan anggota dewan dan sekretarisnya telah memasuki tahap persidangan. Sidang perdana tersebut digelar dengan agenda pembacaan dakwaan di Pengadilan Tipikor Yogyakarta, Kamis (27/9/2012).
Para terdakwa hadir ditemani kuasa hukum dan keluarganya. Suasana di pengadilan pun terlihat lebih ramai dibanding persidangan pada hari-hari sebelumnya. Pasalnya, selain para terdakwa dan keluarga yang menunggui, terlihat pula aparat kepolisian berjaga di lokasi.
Sesuai penjadwalannya, sidang itu digelar di dua ruang terpisah, terbagi dalam 6 berkas perkara. Meski demikian, dakwaan terhadap mereka yang terlibat sebenarnya sama, yaitu pasal 2 primer dan pasal 3 subsider UU No 31/1999, diperbarui menjadi UU No 20/2000 tentang tindak pidana korupsi.
Jaksa penuntut umum membacakan dakwaan secara panjang lebar di setiap persidangan tersebut. Sementara, para terdakwa, ada yang maju secara berkelompok 9 orang sesuai pemberkasannya, ada pula yang berdelapan, atau sendirian, tampak hanya diam duduk berjajar di depan hakim.
Meski beberapa memperlihatkan raut wajah tegang, namun ada pula yang mengaku tetap tenang. Seorang di antaranya mantan anggota DPRD yang pada periode sekarang ini menjabat Ketua DPRD Gunungkidul, Ratno Pintoyo.
Dia bahkan bersedia buka mulut sejak sidang belum dimulai. Dia mengaku santai menghadapi sidang. Pasalnya, proses penganggaran yang kemudian menjeratnya dalam kasus tersebut sebenarnya adalah sah. "Saya merasa tidak korupsi," ungkap Ratno, sebelum memasuki ruang sidang, Kamis (27/9/2012).
Ratno mengatakan bahwa pemberian tunjangan pada periode 2003/2004 memang tanpa kuitansi, tidak seperti sekarang yang harus dengan kuitansi. Pihaknya juga tidak memberikan kuitansi karena memang tidak diminta.
Sebab itu, dia merasa tidak pernah melanggar hukum. Selain, pada periode 2003/2004 waktu itu tidak pernah ada evaluasi terkait keberadaan kuitansi. Dia pun merasa kasus yang menjeratnya itu semata trend penegakan hukum.
"Kalau sampai dinyatakan bersalah saya pasti menempuh hingga kasasi. Saya juga sudah mengembalikan uang yang dimaksud, Rp 73 juta sesuai klaimnya," ujarnya.
Ratno menjalani sidang sesuai berkas perkara kedua No 08/Pidsus/2012/P.Tipikor YK. Selain Ratno, terdakwa lainnya adalah Baryadi Rouseno, Zaenuri, Sukar, Warta, Rojak Harudin, Isdanu Sismardyanto, dan Irhas Imam Muhtar.
Sedangkan berkas perkara pertama No 07/Pidsus/2012/P.Tipikor YK, terdakwa Aris Purnomo menjalani sidang terpisah. Sidang dua berkas itu dipimpin majelis hakim M Nurzaman.
JPU Sigit Kristiyanto ditemui usai sidang menjelaskan, di antara para terdakwa, beberapa masih aktif sebagai anggota DPRD, antara lain Bambang Eko di Provinsi, Naomi dan Sukardi anggota DPRD Gunungkidul.
Secara keseluruhan, mereka didakwa merugikan negara sebesar Rp 3,056 miliar. Uang tersebut adalah anggaran yang sebenarnya untuk biaya perawatan kesehatan, pemeliharaan kesehatan dan pembelian BBM serta pelumas, yang diberikan selama 2003 - 2004. Mereka menerimanya tanpa kuitansi. Dugaannya, penggunaan dana itu tidak sesuai peruntukannya. (*)

II.                ANALISIS KASUS

Kasus di atas merupakan kasus yang mengagetkan masyarakat DIY. Berdasarkan data dari Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) (10/9), DIY menempati rangking 32 provinsi terkorup di Indonesia[1]. Adanya kasus ini tentu akan dapat menaikkan rangkang buruk tersebut.
Kasus yang menjerat 33 mantan anggota dan sekretaris DPRD Gunungkidul periode 1999/2004 tersebut memasuki tahap sidang pertama, yakni pembacaan surat dakwaan, di Pengadilan Tipikor Yogyakarta. Karena sudah memasuki tahapan persidangan, berarti proses hukum sudah tidak dapat dihentikan. Selain itu, walaupun ada beberapa terdakwa yang sudah mengembalikan (mencicil atau melunasi) dana tunjangan yang diduga uang korupsi tersebut, itu tidaklah menghentikan proses hukum, sebab korupsi berdasarkan UU 39/1999 merupakan delik formil, yakni melihat pada adanya perbuatan. Jadi, meskipun uang itu sudah dikembalikan, itu sudah termasuk delik, sebab perbuatannya sudah terjadi.
Ratno Pintoyo, salah satu terdakwa, yang juga saat ini menjabat sebagai ketua DPRD Gunungkidul, dalam penuturannya ia menyanggah perbuatan korupsi itu. Ia dan semua tedakwa lain meskipun masih berstatus sebagai terdakwa, akan tetapi sudah dapat dianggap telah melakukan korupsi. KUHAP yang berpijak pada landasan asas presumption of innocence memang tidak menunjang mempermudah pembuktian perkara korupsi di sidang pengadilan. Namun UU 31/1999 jo UU 20/2001 memberlakukan sistem pembuktian terbalik (omkering van bewijslast). Sistem pembuktian terbalik bertitik tolak pada asumsi bahwa setiap orang yang didakwa korupsi, dianggap dia sudah bersalah melakukan korupsi. Oleh karena itu, di sidang pengadilan terdakwa dibebani kewajiban untuk membuktikan bahwa dirinya tidaklah bersalah melakukan korupsi sebagaimana yang didakwakan agar dirinya dapat terbebaskan dari pidana karena melakukan korupsi[2].
Dalam kasus ini terdakwa didakwa dalam 6 surat dakwaan subsidaritas. Hal itu sudah sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Perbuatan penyelenggara negara (DPRD) menerima tunjangan yang berasal dari dana yang diselewengkan (berdasarkan hasil audit BPKP perwakilan Yogyakarta atas dugaan penyimpangan APBD tahun anggaran TA 2003–2004[3]) tersebut dapat dikategorikan perbuatan memperkaya diri sendiri dengan cara melawan hukum. Hal itu bertentangan dengan Pasal 2 dan pasal 3 UU 39/1999 jo UU 20/2001.

III.             KESIMPULAN
Jadi, perbuatan 33 mantan anggota dan sekretaris DPRD Gunungkidul dalam kasus tersebut dikategorikan sebagai perbuatan korupsi. Hal itu sesuai Pasal 2 dan 3 UU Nomor 39 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001. Meskipun belum menjadi terpidana, karena adanya sistem pembuktian terbalik para terdakwa dapat dianggap telah melakukan korupsi.


INI ADALAH TUGAS MATA KULIAH HUKUM PIDANA DK
HANYA SEBUAH ANALISIS SAYA SENDIRI, 
MOHON SARAN DAN PERBAIKAN 

Hak Cipta dilindungi UU!!!


[1] http://www.kotajogja.com/berita/index/Ini-Rangking-Provinsi-Terkorup,-DIY-Nomor-32
[2] Adam Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Bandung:Alumni, 2008.
[3] http://www.seputar-indonesia.com/ Friday, 28 September 2012 

Tidak ada komentar: