Minggu, 28 April 2013

ZAKAT: MERUBAH MUSTAHIK MENJADI MUZAKKI


I.     PENDAHULUAN
A.  Latarbelakang Masalah
Zakat diwajibkan bagi para aghniya’ (hartawan) yang kekayaannya memenuhi batas minimal (nishab) untuk setahun (haul). Tujuanny untuk pemerataan kesejahteraan dari yang kaya (the haves) kepada yang miskin (the haves not) secara adil dan merubah mustahik, penerima zakat, menjadi muzakki atau pembayar zakat.
Misi utama zakat ini hanya dapat diwujudkan jika manajemennya dikelola secara professional, seperti pada zaman Rasulullah saw dan khulafa’ al-rasyidin. Caranya diawali dari pembenahan Badan Amil Zakat (BAZ) atau Lembaga Amil Zakat (LAZ) menerut ketentuan yang diatur dalam  Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, yang meliputi perencanaan, penyusunan program, penghimpunan, pengelolaan, pendistribusian, dan pelaporannya.
Zakat pada masa awal Islam berjalan sangat efektif dalam penanggulangan kemiskinan dan dikelola oleh negara/ pemerintah. Selain zakat, banyak instrument ekonomi diintrodusir dalam ajaran Islam, seperti rampasan perang (ghanimah), harta tinggalan orang kafir (fa’i), sadaqah, pajak perorangan karena beda agama yang dijamin hak-haknya (jizyah), dan pajak tanah dan tanaman (kharaj). Ini menunjukkan tingginya komitmen ajaran Islam yang ingin membebaskan pemeluknya dari belenggu dan ancaman kemiskinan.
Ekonomi merupakan kebutuhan dasar (basic need) manusia. Seseorang yang tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya akan berimplikasi pada kekufuran. Kekufuran pada tahap kecil mengakibatkan seseorang dapat melakukan cara-cara yang tidak dibenarkan baik menurut ketentuan agama maupun kesusilaan, seperti mencuri, dan ‘menggadaikan’ atau bahkan ‘menjual’ diri. Pada taraf yang berat, seseorang bisa menjual akidah atau keimanannya. Inilah yang diwanti-wanti oleh Rasulullah saw dalam sabdanya, “kada al-farqu an yakuna kufra” artinya “nyaris orang fakir itu menjadi kafir”. Sudah cukup banyak, orang yang mengalami kekurangan, menjadi murtad atau pindah agama karena menerima kompensasi sejumlah materi tertentu.
Efektivitas zakat mulai berubah ketika para muzakki tidak lagi memiliki “loyalitas” dan kepercayaan (trust) kepada ‘amil, tetapi mereka membagikannya secara langsung kepada mustahik. Implikasinya, pendistribusian zakat dilaksanakan tanpa melalui analisis dan klasifikasi mustahik secara matang, sehingga selain problem tumpang tindih (overlapping) antara masing-amsing amil, juga pengidentifikasian dan pengklasifikasian mustahik, apakah pemberian dilakukan konsumtif atau produktif, tidak bisa maksimal.
B.  Permasalahan
Bagaimanakah cara agar dengan zakat, seorang mustahik dapat menjadi muzakki?

II.  PEMBAHASAN
Amil Pemerintah
Al-Quran surat at-Taubah, 9:103 memerintahkan agar zakat diambil secara proaktif atau “paksa” dengan menggunakan redaksi “khudz min amwalihim shadaqatan”, artinya “ambillah dari harta mereka zakat”. Audien (mukhathab)nya adalah Rasulullah saw yang pada waktu itu bertindak selain sebagai pemimpin agama, juga sebagai pemimpin negara/pemerintahan. Karena itu, jika pada masa khulafa’ al-rasyidin pemerintah menangani secara professional zakat ini, karena pemerintahlah yang memahami secara detail dan akurat tentang persoalan warganya yang secara ekonomi kekurangan.
Pertanyaannya adalah, mengapa harus pemerintah sebagai ‘amil? Jawabannya, pemerintahlah yang memiliki perngat dan fasilitas. Meskipun jika ini bisa dilakukan, tidak akan menafikan peran masyarakat untuk ikut berperan secara aktif dalam mengelola dan mendistribusikan zakat. Lebih dari itu, seandainya ada pejabat yang menjadi ‘amil, bagian zakatnya tidak harus diambil mereka, tetapi digunakan untuk biaya operasional dalam pengeloaan zakat.
Pemerintah Republik Indonesia telah mengeluarkan UU Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Pasal 3 menyatakan: “ Pemerintah berkewajiban memberikan perlindungan, pembinaan, dan pelayanan kepada muzakki, mustahik, dan amil zakat.
Tujuannya ditegaskan dalam Pasal 5 (1) yaitu meningkatnya pelayanan bagi masyarakat dalam menunaikan zakat sesuai dengan tuntutan agama; (2) meningkatnya fungsi dan peranan pranata keagamaan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial; dan (3) meningkatnya hasil guna dan daya guna zakat.

Identifikasi Mustahik
Dalam pendistribusian zakat, amil sebelumnya perlu mengidentifikasi dan mengklasifikasikan mustahik, ini dimaksudkan agar di dalam membagikan ada skala prioritas, mana mustahik yang harus didahulukan, dan pola apa yang ditempuh, apakah diberikan dalam bentuk konsumtif atau produktif.
        Al-Quran surat At-Taubah: 60 telah menentukan para mustahik yang berhak menerima zakat sebagai berikut: “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketentuan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Urutan redaksi pada ayat tersebut menunjukkan urutan prioritas. 1) Faqir, artinya orang yang sangat membutuhkan, biasanya didefinisikan sebagai orang yang tidak mempunyai penghasilan tetap dan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
2) Miskin, artinya orang yang dikasihani. Oaring miskin mempunyai penghasilan tetap, tetapi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari, karena itu perlu dikasihani. 3) Amil, artinya pekerja atau pengurus zakat. Al-Qurthuby menyatakan bahwa amil adalah orang-orang yang ditugaskan oleh pemerintah untuk mengambil, menuliskan, menghitung, dan mencatat zakat yang diambilnya dari para muzakki untuk kemudian diberikan kepada yang berhak menerimanya.
4) Muallaf, yaitu orang-orang yang baru masuk Islam, sehingga masih perlu dibujuk hatinya. Memang di sini tidak ada definisi muallaf dari sisi durasi waktunya. Ada pengalaman menarik terjadi pada masa ‘Umar ibn al-Khaththab. Beliau tidak memberi bagian zakat kepada muallaf karena pertimbangan ‘politis’.
5) Riqab, artinya budak yang dimerdekakan. Maksudnya adalah karena Isalm tidak menyukai adanya perbudakan, maka melalui instrument zakat inilah budak-budak dibebaskan sehingga menjadi merdeka dan memiliki kesetaraan dengan yang lain. Diskriminasi adalah bentuk ketidakadilan, dan ini bertentangan dengan semangat egalitarianism (equality/musawah) dalam Islam.
6) Gharim, atau orang yang menanggung hutang untuk memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari. Dalam konteks kehidupan sekarang ini, budaya hutang telah menjadi model di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Dalam struktur penghasilan yang tidak sebanding dengan kebutuhan dasar keluarga, hutang menjadi alternative masyarakat untuk dapat memenuhi kebutuhan yang relatif besar, seperti membeli rumah, kendaran, dan lain-lain.
Persoalannya, apakah hutang demikian masih dapat dikategorikan sebagai gharim? Hutang demikian ini apalagi jangka panjang antara 10-20 tahun, dengan indikasi naik mobil, bawa handphone  bagus, dan aksesori yang lain, apalagi jika hutang dimaksudkan untuk modal usaha lain, maka tidak dapat dikategorikan sebagai gharim.
7) Sabilillah, ialah orang-orang yang –dan atau sarana- berjuang di jalan Allah. Jika berjuang pada masa awal Islam dimaknai sebagai peperangan secara fisik, maka sekarang akan lebih tepat jika dimaknai dalam berjuang melawan kebatilan dan ketidakadilan, termasuk di dalamnya orang-orang yang mengajar agama, dan kegiatan-kegiatan lain yang sejalan dengan tuntutan Allah.
8) Ibn al-sabil atau anak jalan, maksudnya orang-orang yang karena kepentingan perjalanan jauh, dia kehabisan bekal di perjalanan. Ini menggambarkan bahwa pada zaman Rasulullah saw berjuang, harus menempuh perjalanan jauh yang memungkinkan seseorang kehabisan bekal. Supaya orang yang kebahisan bekal itu tidak terlantar, maka Islam menaruh perhatian, agar orang semacam ini bisa meneruskan perjalanannya.
Urutan tersebut di atas dengan jelas menunjukkan prioritas mana di antara delapan kategori yang dikemukakan di atas, untuk didahulukan pemenuhannya dan siapa yang diakhirkan.
Dalam kaitannya dengan upaya untuk merubah mustahik menjadi muzakki tentu memerlukan kerja serius, kesabaran, dan keuletan dari para amil yang ditugasi untuk itu, baik oleh pemerintah maupun swasta.
Di dalam penentuan mustahik mana yang lebih dahulu diberi zakat, diperlukan analisis terhadap data-data yang masuk secara teliti. Bagaimana klasifikasinya, dan dalam formula konsumtif atau produktif, membutuhkan telaah bersama, sehingga benar-benar dapat menimbulkan keadilan dalam masyarakat.
Jika pengidentifikasian dan pengklasifikasian selesai dilakukukan, maka gilirannya adalah pembagian zakat. Perlu juga dibutuhkan pendampingan kepada mustahik dengan harapan mereka tidak akan menyalahgunakan harta zakat yang dihimpun dari para aghniya’. Sehingga misi utama zakat, yakni mewujudkan pemerataan agar harta tidak hanya beredar di antara orang-orang kaya dapat diwujudkan. Mereka yang semula sebagai mustahik dapat berubah menjadi muzakki.

III.             PENUTUP
Jadi, untuk dapat mewujudkan pemerataan harta sehingga mustahik dapat berubah menjadi muzakki adalah dengan cara mengidentifikasi dan menganalisis calon mustahik sehingga zakat itu pun dapat tepat sasaran dan bermanfaat untuk kesejahteraan masyarakat


DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Rofiq, Fiqh Kontekstual dari Normatif ke Pemaknaan Sosial, Yogyakarta, Puataka Pelajar, 2012.


INI MERUPAKAN TUGAS KULIAH.