I. PENDAHULUAN
A. Latarbelakang Masalah
Zakat
diwajibkan bagi para aghniya’ (hartawan)
yang kekayaannya memenuhi batas minimal (nishab)
untuk setahun (haul). Tujuanny untuk
pemerataan kesejahteraan dari yang kaya (the
haves) kepada yang miskin (the haves
not) secara adil dan merubah mustahik, penerima zakat, menjadi muzakki atau
pembayar zakat.
Misi
utama zakat ini hanya dapat diwujudkan jika manajemennya dikelola secara
professional, seperti pada zaman Rasulullah saw dan khulafa’ al-rasyidin. Caranya diawali dari pembenahan Badan Amil
Zakat (BAZ) atau Lembaga Amil Zakat (LAZ) menerut ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang
Pengelolaan Zakat, yang meliputi perencanaan, penyusunan program, penghimpunan,
pengelolaan, pendistribusian, dan pelaporannya.
Zakat
pada masa awal Islam berjalan sangat efektif dalam penanggulangan kemiskinan
dan dikelola oleh negara/ pemerintah. Selain zakat, banyak instrument ekonomi
diintrodusir dalam ajaran Islam, seperti rampasan perang (ghanimah), harta tinggalan orang kafir (fa’i), sadaqah, pajak perorangan karena beda agama yang dijamin
hak-haknya (jizyah), dan pajak tanah
dan tanaman (kharaj). Ini menunjukkan
tingginya komitmen ajaran Islam yang ingin membebaskan pemeluknya dari belenggu
dan ancaman kemiskinan.
Ekonomi
merupakan kebutuhan dasar (basic need)
manusia. Seseorang yang tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya akan
berimplikasi pada kekufuran. Kekufuran pada tahap kecil mengakibatkan seseorang
dapat melakukan cara-cara yang tidak dibenarkan baik menurut ketentuan agama maupun
kesusilaan, seperti mencuri, dan ‘menggadaikan’ atau bahkan ‘menjual’ diri.
Pada taraf yang berat, seseorang bisa menjual akidah atau keimanannya. Inilah
yang diwanti-wanti oleh Rasulullah saw dalam sabdanya, “kada al-farqu an yakuna kufra” artinya “nyaris orang fakir itu
menjadi kafir”. Sudah cukup banyak, orang yang mengalami kekurangan, menjadi
murtad atau pindah agama karena menerima kompensasi sejumlah materi tertentu.
Efektivitas
zakat mulai berubah ketika para muzakki tidak lagi memiliki “loyalitas” dan
kepercayaan (trust) kepada ‘amil,
tetapi mereka membagikannya secara langsung kepada mustahik. Implikasinya,
pendistribusian zakat dilaksanakan tanpa melalui analisis dan klasifikasi
mustahik secara matang, sehingga selain problem tumpang tindih (overlapping) antara masing-amsing amil,
juga pengidentifikasian dan pengklasifikasian mustahik, apakah pemberian
dilakukan konsumtif atau produktif, tidak bisa maksimal.
B. Permasalahan
Bagaimanakah cara agar
dengan zakat, seorang mustahik dapat menjadi muzakki?
II. PEMBAHASAN
Amil Pemerintah
Al-Quran surat at-Taubah, 9:103
memerintahkan agar zakat diambil secara proaktif atau “paksa” dengan
menggunakan redaksi “khudz min amwalihim
shadaqatan”, artinya “ambillah dari harta mereka zakat”. Audien (mukhathab)nya adalah Rasulullah saw yang
pada waktu itu bertindak selain sebagai pemimpin agama, juga sebagai pemimpin
negara/pemerintahan. Karena itu, jika pada masa khulafa’ al-rasyidin pemerintah menangani secara professional zakat
ini, karena pemerintahlah yang memahami secara detail dan akurat tentang
persoalan warganya yang secara ekonomi kekurangan.
Pertanyaannya adalah, mengapa harus
pemerintah sebagai ‘amil? Jawabannya, pemerintahlah yang memiliki perngat dan
fasilitas. Meskipun jika ini bisa dilakukan, tidak akan menafikan peran
masyarakat untuk ikut berperan secara aktif dalam mengelola dan
mendistribusikan zakat. Lebih dari itu, seandainya ada pejabat yang menjadi
‘amil, bagian zakatnya tidak harus diambil mereka, tetapi digunakan untuk biaya
operasional dalam pengeloaan zakat.
Pemerintah Republik Indonesia telah
mengeluarkan UU Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Pasal 3
menyatakan: “ Pemerintah berkewajiban memberikan perlindungan, pembinaan, dan
pelayanan kepada muzakki, mustahik, dan amil zakat.
Tujuannya ditegaskan dalam Pasal 5 (1)
yaitu meningkatnya pelayanan bagi masyarakat dalam menunaikan zakat sesuai
dengan tuntutan agama; (2) meningkatnya fungsi dan peranan pranata keagamaan
dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial; dan (3)
meningkatnya hasil guna dan daya guna zakat.
Identifikasi Mustahik
Dalam
pendistribusian zakat, amil sebelumnya perlu mengidentifikasi dan
mengklasifikasikan mustahik, ini dimaksudkan agar di dalam membagikan ada skala
prioritas, mana mustahik yang harus didahulukan, dan pola apa yang ditempuh,
apakah diberikan dalam bentuk konsumtif atau produktif.
Al-Quran surat At-Taubah: 60 telah
menentukan para mustahik yang berhak menerima zakat sebagai berikut:
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang
miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk
(memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah, dan
orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketentuan yang
diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Urutan
redaksi pada ayat tersebut menunjukkan urutan prioritas. 1) Faqir, artinya orang yang sangat
membutuhkan, biasanya didefinisikan sebagai orang yang tidak mempunyai
penghasilan tetap dan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
2) Miskin, artinya orang yang dikasihani.
Oaring miskin mempunyai penghasilan tetap, tetapi tidak cukup untuk memenuhi
kebutuhannya sehari-hari, karena itu perlu dikasihani. 3) Amil, artinya pekerja atau pengurus zakat. Al-Qurthuby menyatakan
bahwa amil adalah orang-orang yang ditugaskan oleh pemerintah untuk mengambil,
menuliskan, menghitung, dan mencatat zakat yang diambilnya dari para muzakki
untuk kemudian diberikan kepada yang berhak menerimanya.
4) Muallaf, yaitu orang-orang yang baru
masuk Islam, sehingga masih perlu dibujuk hatinya. Memang di sini tidak ada
definisi muallaf dari sisi durasi waktunya. Ada pengalaman menarik terjadi pada
masa ‘Umar ibn al-Khaththab. Beliau tidak memberi bagian zakat kepada muallaf
karena pertimbangan ‘politis’.
5) Riqab, artinya budak yang dimerdekakan.
Maksudnya adalah karena Isalm tidak menyukai adanya perbudakan, maka melalui
instrument zakat inilah budak-budak dibebaskan sehingga menjadi merdeka dan
memiliki kesetaraan dengan yang lain. Diskriminasi adalah bentuk ketidakadilan,
dan ini bertentangan dengan semangat egalitarianism (equality/musawah) dalam Islam.
6) Gharim, atau orang yang menanggung
hutang untuk memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari. Dalam konteks kehidupan
sekarang ini, budaya hutang telah menjadi model di negara-negara berkembang,
termasuk Indonesia. Dalam struktur penghasilan yang tidak sebanding dengan
kebutuhan dasar keluarga, hutang menjadi alternative masyarakat untuk dapat
memenuhi kebutuhan yang relatif besar, seperti membeli rumah, kendaran, dan
lain-lain.
Persoalannya,
apakah hutang demikian masih dapat dikategorikan sebagai gharim? Hutang
demikian ini apalagi jangka panjang antara 10-20 tahun, dengan indikasi naik
mobil, bawa handphone bagus, dan
aksesori yang lain, apalagi jika hutang dimaksudkan untuk modal usaha lain,
maka tidak dapat dikategorikan sebagai gharim.
7) Sabilillah, ialah orang-orang yang –dan
atau sarana- berjuang di jalan Allah. Jika berjuang pada masa awal Islam
dimaknai sebagai peperangan secara fisik, maka sekarang akan lebih tepat jika
dimaknai dalam berjuang melawan kebatilan dan ketidakadilan, termasuk di
dalamnya orang-orang yang mengajar agama, dan kegiatan-kegiatan lain yang
sejalan dengan tuntutan Allah.
8) Ibn al-sabil atau anak jalan, maksudnya
orang-orang yang karena kepentingan perjalanan jauh, dia kehabisan bekal di
perjalanan. Ini menggambarkan bahwa pada zaman Rasulullah saw berjuang, harus
menempuh perjalanan jauh yang memungkinkan seseorang kehabisan bekal. Supaya
orang yang kebahisan bekal itu tidak terlantar, maka Islam menaruh perhatian,
agar orang semacam ini bisa meneruskan perjalanannya.
Urutan
tersebut di atas dengan jelas menunjukkan prioritas mana di antara delapan kategori
yang dikemukakan di atas, untuk didahulukan pemenuhannya dan siapa yang
diakhirkan.
Dalam
kaitannya dengan upaya untuk merubah mustahik menjadi muzakki tentu memerlukan
kerja serius, kesabaran, dan keuletan dari para amil yang ditugasi untuk itu,
baik oleh pemerintah maupun swasta.
Di
dalam penentuan mustahik mana yang lebih dahulu diberi zakat, diperlukan
analisis terhadap data-data yang masuk secara teliti. Bagaimana klasifikasinya,
dan dalam formula konsumtif atau produktif, membutuhkan telaah bersama,
sehingga benar-benar dapat menimbulkan keadilan dalam masyarakat.
Jika
pengidentifikasian dan pengklasifikasian selesai dilakukukan, maka gilirannya
adalah pembagian zakat. Perlu juga dibutuhkan pendampingan kepada mustahik
dengan harapan mereka tidak akan menyalahgunakan harta zakat yang dihimpun dari
para aghniya’. Sehingga misi utama zakat, yakni mewujudkan pemerataan agar
harta tidak hanya beredar di antara orang-orang kaya dapat diwujudkan. Mereka
yang semula sebagai mustahik dapat berubah menjadi muzakki.
III.
PENUTUP
Jadi, untuk dapat
mewujudkan pemerataan harta sehingga mustahik dapat berubah menjadi muzakki
adalah dengan cara mengidentifikasi dan menganalisis calon mustahik sehingga
zakat itu pun dapat tepat sasaran dan bermanfaat untuk kesejahteraan masyarakat
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad
Rofiq, Fiqh Kontekstual dari Normatif ke
Pemaknaan Sosial, Yogyakarta, Puataka Pelajar, 2012.
INI MERUPAKAN TUGAS KULIAH.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar